Pasar Tradisional di jogja masih mendapatkan tempat di hati masyarakat umum walaupun serbuan mall dan minimarket menjamur dimana-mana. Karena di pasar tradisional tidak hanya soal siapa punya uang, tapi bisa untuk bercengkrama dengan sesama tanpa mengenal kasta. Berbeda dengan ‘pasar modern’ yang hanya melihat ‘punya uang berapa’.
Simbah Putri saya dua-duanya adalah pedagang pasar tradisional. Yang pertama jualan bumbu-bumbu dapur, yang kedua jualan tahu. Jaman masih kecil sebelum SD, saya tiap pagi dan siang ikut mengantar dan menjemput simbah. Dengan membonceng sepeda di atas kronjot (keranjang dari bambu).
Dan simbah-simbah saya tidak mau berhenti untuk berjualan di pasar ketika sudah semakin lanjut usia. Walaupun sudah berbagai cara dilakukan untuk membujuk simbah berdua, namun tidak berhasil. Tentu alasan simbah tidak mau berhenti bukan karena uang. Tapi karena di pasar bisa bertemu dengan teman-teman sejawat, bisa bercengkrama dan bersosialisasi. Hal inilah yang tidak dimiliki pasar modern.
Di Kabupaten Bantul, pembangunan mall dilarang untuk melindungi pasar tradisional. Dan pasar-pasar tradisional direnovasi agar lebih bagus dan rapi. Saya sangat setuju dengan kebijakan ini. Bagaimanapun juga, serbuan mall ini perlahan akan mematikan pasar tradisional.
Tapi saya sendiri sudah jarang ke pasar tradisional… 🙁
gambar sepeda dari sini